About Me
im not exist, im in everybody's mind...

Archives
 
Thursday, July 21, 2005

 Daddy



You do not do, you do not do
Any more, black shoe
In which I have lived like a foot
For thirty years, poor and white,
Barely daring to breathe or Achoo.



Daddy, I have had to kill you.
You died before I had time---
Marble-heavy, a bag full of God,
Ghastly statue with one gray toe
Big as a Frisco seal



And a head in the freakish Atlantic
Where it pours bean green over blue
In the waters off the beautiful Nauset.
I used to pray to recover you.
Ach, du.



In the German tongue, in the Polish town
Scraped flat by the roller
Of wars, wars, wars.
But the name of the town is common.
My Polack friend



Says there are a dozen or two.
So I never could tell where you
Put your foot, your root,
I never could talk to you.
The tongue stuck in my jaw.



It stuck in a barb wire snare.
Ich, ich, ich, ich,
I could hardly speak.
I thought every German was you.
And the language obscene



An engine, an engine,
Chuffing me off like a Jew.
A Jew to Dachau, Auschwitz, Belsen.
I began to talk like a Jew.
I think I may well be a Jew.



The snows of the Tyrol, the clear beer of Vienna
Are not very pure or true.
With my gypsy ancestress and my weird luck
And my Taroc pack and my Taroc pack
I may be a bit of a Jew.



I have always been sacred of you,
With your Luftwaffe, your gobbledygoo.
And your neat mustache
And your Aryan eye, bright blue.
Panzer-man, panzer-man, O You----



Not God but a swastika
So black no sky could squeak through.
Every woman adores a Fascist,
The boot in the face, the brute
Brute heart of a brute like you.



You stand at the blackboard, daddy,
In the picture I have of you,
A cleft in your chin instead of your foot
But no less a devil for that, no not
Any less the black man who



Bit my pretty red heart in two.
I was ten when they buried you.
At twenty I tried to die
And get back, back, back to you.
I thought even the bones would do.



But they pulled me out of the sack,
And they stuck me together with glue.
And then I knew what to do.
I made a model of you,
A man in black with a Meinkampf look



And a love of the rack and the screw.
And I said I do, I do.
So daddy, I'm finally through.
The black telephone's off at the root,
The voices just can't worm through.



If I've killed one man, I've killed two---
The vampire who said he was you
And drank my blood for a year,
Seven years, if you want to know.
Daddy, you can lie back now.



There's a stake in your fat black heart
And the villagers never liked you.
They are dancing and stamping on you.
They always knew it was you.
Daddy, daddy, you bastard, I'm through.


Wednesday, July 13, 2005

 
When boredom gets it climax..



Tempat tidur putih steril dengan bed cover tebal dan ac yang dingin. Pintu tak berkunci yang berbunyi, anak tangga menuju lantai bawah, vertikal, tanpa emosi merayap diantara dinding-dinding putih. Bulunya berwarna emas, tubuhnya panas beraroma liur yang ia jilat ke bulunya tiap saat, ia tidur disitu, di bawah anak tangga, menunggu hari menyambut yang sama seperti kemarin. Dan pagi itu kemudian sirna, berganti malam, tanpa lukisan nadi yang mengambang di udara, tanpa deru angin yang berkelebat yang menggoyangkan fitrah. Tubuh ini hampir mati. Di depan sofa empuk, vagina basah yang lecet, dan desahan kesakitan, kian mirip seperti air putih. Tawar. Seperti ciuman pagi. Dilengkapi kotoran gigi, kumeraih tubuhnya, tubuh mereka, tubuh siapa saja, dan mengeksplorasi birahi. Nafsu seperti ombak yang menyurut, meninggalkanmu ketika kau menyentuhnya, walau tampak terus mendaki keatas. Tapi lama kelamaan turun, menghilang, membuka ruang-ruang kering yang tadinya basah. Nafsu pergi bersama rakusnya birahi. Nafsu yang kehilangan daya vulkanis. Plain. Tanpa buaian, gelombang, goyangan. Penis berlogika. Namun mabuk dalam pesta.



Kereta jam enam sore berangkat menuju Bandung. Menyusuri rel-rel berkarat, melalui terowongan, melampaui jembatan. Dan < ding >. Stasiun Hall malam hari. Tempat orang-orang berlalu lalang pergi dan berhenti hening mengingat memori. Seperti pagi itu, pria berkaca mata berdiri sendirian di samping rel, di belakangnya seorang lelaki sibuk berbicara dengan bahasa sunda pada telepon genggam, dan wanita langsing berambut pirang itu keluar dari kereta. Pelan-pelan sambil menenteng dua tas kecilnya ia menghampiri lelaki muda berkaca mata yang tampak sedang menunggu. Dan keduanya bersapa, tak kukira akan semesra itu, si pirang memeluk pria itu dan menciumnya, dari senyumnya yang lebar, kamu langsung sadar, mereka sudah lama tidak bersua dan saling menuai rindu saat itu. Dan pria satu ini, sibuk melihat sekelilingnya, tampak tanpa arah, menenteng tas kecil yang menyamping, mengetik telepon genggam, ia tampak gugup. Begitu tergesa-gesakah nasib terhadapnya? Seperti detik yang berjalan, ia tampak gesit, semua harus on time. Tidak boleh salah perhitungan, kalau tidak, semuanya bisa jatuh berantakan. Seperti kotak pensilku yang tumpah ruah di depan kelas di saat aku harus berdiri dengan satu kaki membelakangi papan tulis. Terlambat masuk kata guruku dan ganjarannya di permalukan di depan kelas. Dan malam ini aku memiliki tiga janji, aku masih tidak yakin mana yang harus kutepati. Apakah yang itu ataukah yang ini. Apakah yang tersenyum pergi ataukah yang meratap menangis, atau yang senyum menyamping, tak terlukis, sophisticated? Aku benci kata itu. Menurutku permukaan selalu menipu, karena semua orang memiliki kesedihan mereka sendiri. Aku bisa melihat lukisan dadais di tiap goresan maskara dan lipstik di permukaan kulitmu, penuh dengan lelucon, ironi atau mungkin kesalah kaprahan yang tiada tara? Kecantikan adalah absurditas tanpa ujung yang dikemas dengan ekspresi palsu monalisa. Dan vodka penghangat malam, bagi para pecundang-pecundang hidup, dimana pemenang selalu menjadi lelucon abadi realita. Ode bagi para pemenang, yang hilang, jatuh di tengah tertawa pelawak yang terpingkal-pingkal. Karena di dalam hidup yang seperti ini, pemenang selalu menjadi giliran untuk pelawak. Kembali lagi pada pagi itu, si pria yang tampak bingung dan buru-buru itu tiba-tiba terlihat begitu santai, meski mukanya tampak malu. Hidupnya sudah terlanjur berantakan.




Sunday, July 03, 2005

 Requiem


If we part,
lets pretend to die
together cease to exist
for you and I, we could not be.
Let's bury all feelings of pain of loss
in a flat and empty field
Stones commemorating who we were
weekend visits to mourn
all we wanted but could not get.
I'll lay some flowers on your grave
will you do the same for me?
Rest in peace my love
maybe if we try hard enough
underground we can take root.