About Me
im not exist, im in everybody's mind...

Archives
 
Friday, February 18, 2005

 Tukang sampah Freudian




...And all the drugs in the world cannot save us from ourselves



Dia bilang, aku tidak pernah serius. karena Aku selalu bercanda pada semua hal yang berkaitan dengan kewajiban. Aku selalu menyusahkan katanya. Menyusahkan siapa? siapalagi kalau bukan orang tua. Dua kata yang bukan main tiada taranya, saking tiada taranya, aku jadi tidak lagi mentarakannya, apalagi menganggapnya. Tapi aku hanya tidak ingin sekolah. Dan dia memang tidak tahu-menahu soal pas foto yang terpajang di ijasah smpku itu. Wajahku yang dulu, yang selalu sedih kata mereka, yang selalu pemurung, yang selalu menantang setiap kali diperintah, sebuah wajah yang tak pernah ia mengerti. Aku terlalu banyak bercanda pikirnya. Terlalu sering bermain-main dengan hidup, tidak pernah serius, seakan-akan aku adalah orang yang romantis. Dan setelah pertengkaran siang itu, seperti biasa mama menangis lagi, hampir tiap tahun seperti ini. Tiap bulan dimana ego kita bertemu, setelah tak sua selama beberapa masa, sukar rasanya tidak diluapkan. Dan terjadilah, pertengkaran siang itu, hanya karena sebuah potret masa lalu yang remeh. Hanya karena sebuah senyum yang melecehkan hidup. Hanya karena kami adalah dua dari empat bersaudara lelaki. Hanya karena Yeskri menertawakan tampangku yang kaku di depan kamera blits di sebuah Studio foto yang murah.


.."tapi tak seharusnya buku itu kamu buang, Ronni."


Seharusnya juga aku tak membaca Freud siang itu, apalagi di kamarnya. Aku memang tidak punya pilihan, kamarku panas sekali seperti di dalam microwave. Apa yang kamu harapkan dari rumah dua tingkat dengan saluran ventilasi udara yang miskin, dan posisinya yang membelakangi pantai. Darisini kamu bisa ngebayangin, kemana perginya angin pantai yang sejuk itu...


Di kamar ini ada fan berukuran sedang yang lumayan sejuk, walau aku tetap berkeringat. Menurut mereka, karena dia lebih tua jadi dia lebih punya hak memiliki sebuah fan di kamarnya. Dan tiap hari aku terpanggang di dalam kamar hanya karena mereka lebih tua dari aku. Menyebalkannya.


Perutku berbunyi sewaktu di angkot, saking laparnya, tiap bau knalpot dan asap di jalanan kuendus layaknya aroma masakan mama di dapur. Sesampainya dirumah, aku merogoh kantung plastik dari tasku. Buku itu mahal sekali, duitku langsung habis, padahal tadi ingin kusisihkan sedikit untuk ke warnet. Tak apalah, seenggaknya walau buku ini tak kubaca dan hanya menjadi pajangan di meja kotorku itu, akan menambah pamorku sebagai seorang "bookfetish." Buku itu langsung kubawa keatas dan langsung kubaca. Setelah beberapa menit membolak-balik dua halaman yang tidak aku mengerti, aku memutuskan menutup ceramah Freud tentang psikoanalisis dan beranjak kebawah. Sebelumnya mama sudah memanggilku tapi tidak ku gubris, lalu dia yang gantian memanggilku, dan cepat-cepat Aku kebawah karena Aku sudah lapar berat.


"Nasinya belum masak, sebentar lagi ya, atau kamu mau yang dingin?" Mama memberiku pilihan dengan aksen daerah pantainya yang lantang itu (setengah teriak maksudnya). Aku mengurungkan niat buru-buru perutku yang lapar, nasi panas dengan ikan bakar yang pedas lebih menggoda. Jadi aku memutuskan untuk menunggu. Sedangkan dia, kulihatnya sedang membongkar-bongkar salah-satu laci di kamar mama. "oh dia sedang liat-liat ijasah," sahut mama yang memperhatikanku sedang bertanya-tanya. Lalu dia menyahut kecil, "coba kamu kesini!" sudah lama aku tidak dipanggil seperti ini, kesannya menegangkan, seperti ketika dipanggil gurumu di depan kelas untuk dihukum. Tapi aku malah tersenyum dan berjalan menuju arahnya... Ada apa Ni?


Nasi goreng ini lumayan enak. Para pria bugis di sekitarku sedang ngobrol-ngobrol soal perempuan. Cukup sering aku mendengar obrolan seperti ini, walau agak memuakan, aku Cuma bersikap biasa. Aku sih bisa mentolerir orang yang hipersex, tapi kalau para "machois spermbrain" ini, aku nggak yakin. Dari kebanyakan cerita yang aku dengar, hanya mengenai prostitusi dan pemerkosaan. Ada seorang lonte yang dikerjai, dibuat mabuk trus di bawa ke hutan malam-malam dan digilir 7 orang supir angkot. Sehabis itu ditinggali di pinggir jalan dengan dua lembar sepuluh ribuan ditangan. Si pencerita adalah salah satu pelakunya. Yang membuat aku tak habis pikir, apa yang lucu dari cerita tersebut? Apa itu semacam lelucon bagi mereka. Bisa-bisanya mereka ketawa-ketiwi dengan cerita sakit macam itu. Aku bisa ngeliat raut muka si pencerita yang bersemangat karena sekelilingnya tampak menikmati ceritanya itu. Satu-satunya orang yang kelihatannya tidak suka obrolan semacam ini selain diriku, Cuma si mbo tukang nasi goreng. Seorang transmigran dari jawa yang mencari nafkah di kota ini, dengan wajahnya yang masam dia tampak diam-diam saja, seperti kebanyakan orang jawa. Cuma diam, walau diinjak-injak, tapi saling ngobrol miring dan tusuk belakang, ini menurut salah seorang temanku yang berdarah jawa juga. Perutku sudah penuh, yang aku pikirkan sekarang hanyalah tempat dimana aku bisa tidur tanpa harus pulang ke rumah. Mama Cuma memberiku 10ribu untuk makan siang, dan sudah terpakai 5ribu untuk nasi goreng dan es teh.


Sudah pukul enam sore, aku pamit dari mami Tin setelah mandi bebek. Sesampainya dirumah, mama menungguku didepan pintu. Aku nggak nyangka pertengkaran siang itu akan sehebat ini. Walau aku sedikit merasa lucu, tetap saja perasaanku tidak nyaman. Dan mama memang selalu berlebihan. Aku bergegas keatas, berniat mengambil bukuku yang tertinggal, lalu aku terdiam setelah membuka pintu dan melihat ke dalam, buku itu sudah tidak ada. Pikiranku sedikit kacau, aku baru saja membeli buku itu dan baru untuk buku itu juga, aku mencoba untuk menabung dan menghindari kebiasaanku yang boros selama satu minggu. Dalam hati aku bergumam dengan nada mengancam, "coba saja ada apa-apa dengan buku itu." Dengan marah aku mendatangi dia kebawah dan bertanya kepadanya dengan nada kasar, "dimana bukuku??" tanpa melihatku dia berkata dengan tenang, "coba lihat di tempat sampah di depan." Suasana ruang tamu pada saat itu mendadak tegang, Yesi yang tadinya cerewet mengomentari sinetron di televisi sekejap terdiam. Aku langsung bergegas ke depan dan membuka tutup tong sampah itu. Aku baru ingat kalau sampah diangkat tiap sore hari, aku sering memperhatikan bapak dengan gerobak itu di tiap aku main basket di depan rumah. Tiba-tiba aku mendadak pasrah, mama melihatku seperti itu, dengan wajah yang iba dia mendatangiku dan menggandeng tanganku. Mama mau ke rumah sakit, anak temannya yang berumur 5 tahun sedang sakit parah, dan dia berniat untuk membesuknya. Kita bergandengan dan ngobrol-ngobrol, mama dengan nada yang pelan dan aku yang agak ngotot-ngotot menyatakan pembenaranku. Sudah agak lama dia tidak menggandeng tanganku, mungkin semenjak aku sudah tidak lagi menjadi anak kecilnya. Aku bisa melihat sinar mata dan kehangatan wajahnya pada malam itu Seketika dia mengatakan, "kalau dia berpihak kepadaku."


"Roni-roni," sambil menggeleng-geleng kepala. Apasih yang kamu mau sebenarnya. Kemarin aku ngeliat kamu nulis surat kangen-kangenanmu itu sambil nangis, walau kamu berusaha menutupinya, aku tetap tau. Aku tau gimana rasanya kalau orang yang kita sayangi itu jauh. Kata seorang penyair, perasaan seperti itu serupa batu yang berada di sungai yang mengalir tapi tidak bergerak sama sekali. Aku tau betapa sesaknya dadamu. Jadi jangan marah donk, kan aku cuman nyanyiin lagu buat kamu, aku kira kamu akan senang. Karena ini aku jadi suka bertanya di dalam hati, apa cinta selalu sedepresif ini ya? "Roni-roni", sambil menggeleng-geleng kepala. Nggak seharusnya kan mama sampe ngasih aku duit makan siang Cuma karena dia takut kita berantem lagi. Cuman karena dia udah cape ngeliat nostalgia ego kita. Aku tau kamu lebih tua dari aku, tapi bukan berarti kamu punya hak menghakimi aku kan? Apalagi itu udah lama berlalu, maumu apasih? Dan sekarang aku tidur dirumah mami Tin, apa kamu sudah senang?


Iya, memang, malam itu aku grogi di depan kamera, dan aku memang nggak fotogenik. Wajahku jerawatan, mukaku mirip sampah. Si Yeskri yang tertawa ngeliat mukaku kelewat serius di depan kemera, aku juga jadi terpancing, padahal aku pengen serius. Iya, memang, malam itu aku pergi ke kedai lagi, tempat anak-anak desa suka nangkring minum-minum. Kedai yang jarang orang-tuanya, kedai tempat anak-anak mabuk-mabuk dan berantem, kedai tempat aku bolos setiap hari, kedai yang ngebuat aku males bangun pagi dan make seragam. "Lantas kenapa!" kan aku memang tidak ingin sekolah. Aku tidak mau pakai seragam biru putih, aku tidak mau berada di deretan bangku dan meja dan papan tulis di depannya. Aku tidak mau ngeliat para wanita gemuk itu ngebacain catatan dan ngebuat aku ngantuk. Aku tidak mau disuruh-suruh bikin pekerjaan rumah yang nyita semua waktuku diluar sekolah. Aku tidak mau bangun pagi dan pergi sekolah.


Aku mau bangun pagi, pergi ke pantai minta ikan buat dibakar nanti siang lalu ketemu kenalanku yang nyari ikan semalaman dan berharap ditraktir minum-minum pagi itu juga. Aku ingin tidak sadar seharian. Malam hari juga begitu, aku ingin begadang semalaman minum-minum sambil main gitar teriak-teriak diatas bukit dekat pantai, supaya kalo pagi aku dan lainnya bisa ngeliat perahu ikan yang masuk. Supaya kita bisa bakar ikan dan minum-minum lagi, supaya kita tidak lagi kuatir akan hari esok, supaya kita nggak pernah sadar, karena kita terus bermimpi. Kita hanya ingin bermimpi karena kita semua pemimpi. Dan aku sadar memang kalau kamu melihat semua itu di foto ijasah smpku. Kamu tau aku seorang pemimpi dan kamu membenci aku karenanya. Aku tau itu, karena kamu juga adalah seorang pemimpi seperti aku. Karena itu kamu membenci dirimu sendiri, juga aku. Karena kita berdua adalah pemimpi. Dan kita terus bermimpi, "ya kan?" "And we just keep on dreaming Ronni, we're dreaming the reality, because dreaming is free," dan sudah seharusnya begitu…mimpi itu gratis ron, santai saja, kalau kamu mikir kamu udah nggak mimpi lagi, berarti tandanya kamu sudah mati.


Lain kali, tolong jangan salahkan masa lalu. Kita udah disini sekarang, nggak disitu lagi. Aku sudah memaafkanmu karena memang sudah lama. Asal jangan kamu ulangi lagi seperti nasib buku Psikoanalisis ku itu. "Roni," masa lalu telah menawan masa depan, dan saatnya sekarang untuk melepas sang sandera dan memekarkan masa depan. Selama kamu menyesali perbuatanmu itu dan berjanji tidak mengulanginya lagi, aku bisa kok bertemu kamu lagi. Cuma yang jadi permasalahan dipikiranku sekarang ini adalah kalau kamu tidak menyesali perbuatanmu itu sama sekali, dan masih berpikir kalau bapak tukang angkut sampah itu bisa jadi seorang Freudian...


Dan kamu berpikir dia sudah buka praktek psikiater jalanan? Kamu memang sudah gila.