About Me
im not exist, im in everybody's mind...

Archives
 
Monday, April 26, 2004

 
Me, myself, and religion

When i say Your will is My will, that is not the same thing as
My will is Your will.
If You did my will all the time, there will be nothing for You to do to achieve
enlightenment. The process would be over.
You would be already thereā€ (God). -Neale Donald Walsch, A CONVERSATION WITH GOD BOOK 2

Dahulu, seorang gospel dari yerusalem yang sangat imajiner merumuskan suatu pandangan yang akan membuat para ahli-ahli
Taurat zaman itu naik pitam. Alhasil, tirani puritan pemuka-pemuka
Relijius yang mempunyai kekuatan untuk menentukan kebenaran pada publik, berhasil meyakinkan masyarakat agar gospel ini di salibkan. Bentuk-bentuk otentik dari agama yang kemudian di kooptasi oleh kekuasaan membuat agama menjadi pemeran terbesar dalam
melaksanakan kepercayaan akan legitimasi setiap kekuasaan. Hal-hal semacam ini berulang kembali di beberapa tempat, dimana manusia berusaha mencari cara yang tidak menyakitkan agar manusia dapat berhubungan dan hidup berdampingan. Ajaran-ajaran untuk mengasihi sesama, merendahkan diri adalah bukti otentik dari perkembangan pemikiran manusia dari kondisi kehidupan yang menyakitkan. Namun agama sendiri setelah sekian lama telah menjadi pedang yang tumpul karena tidak menawarkan ataupun menciptakan situasi sesuai yang di ajarkannya. Agama berakhir menjadi alat legitimasi kekuasaan untuk menciptakan perbudakan, peperangan, pembantaian, dan pemaksaan. Kolonialis Eropa sebelum abad 20 berusaha mendominasi daerah-daerah di seluruh belahan dunia dengan mengirimkan misionarisnya dan akhirnya menguasai tempat tersebut, mengeksploitasinya, menghancurkan kebudayaan penduduk lokal, memperbudak mereka yang di kalahkan. Di kebanyakan kerajaan-kerajaan para pemuka agama menjadi kaum terhormat yang eksistensinya di berkahi oleh jerih-payah budak , petani, dan pekerja. Agama dijadikan alasan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain, bangsa lain, kebudayaan yang lain yang sering mereka definisikan
Sebagai belum beradab. Pada titik ini agama menjadi suatu ajaran kontemplatif semata, suatu kepercayaan tumpul yang hanya berakhir pada ritual-ritual pengabdian kepada tuhan. Walau berusaha tetap menjadi pedang bermata dua, agama tidak dapat menanggung beban kontradiksi yang dialaminya hingga ketidakberdayaan menjadi ciri khasnya.

Kebanyakan agama berusaha meyakinkan semua orang agar menyembah tuhan dan mengamalkan ajaran-ajarannya. Berusaha meyakinkan bahwa ada cara yang lebih baik dimana manusia bisa melewati hidup tanpa kondisi yang menyakitkan, tanpa menyakiti sesama. Dalam hal ini, agama sudah tumpul untuk menjadi pisau analis. Agama menjadi sekedar kepercayaan, yang di tafsirkan Freud sebagai neurosia kolektif, artinya gejala kegilaan yang di setujui bersama. Ketika dialektika materialisme merombak semua definisi-definisi pemikiran-pemikiran tua, dan menjelaskan fungsi-fungsi yang diciptakan manusia yang terdefinisi oleh fungsi-fungsi tersebut, agama kehilangan pamornya, pesonanya untuk menjadi pisau analis. Agama juga akhirnya di lecehkan karena terlalu buta untuk melihat bahwa manusia adalah produk dari situasi yang dialaminya yang oleh karena itu sangatlah penting untuk menciptakan situasi bagi manusia.
Sejauh ini agama hanya menerangkan ekspresi ketidakberdayaan manusia melalui serangkaian cerita-cerita imajiner yang membuat terpisahnya badan dan kepala. Religion is something you do, tidak terpisah dari kenyataan fana.
Saya tidak ingin meneruskan argumen yang sudah agak basi ini. Saya merasa perlu menulis hal ini hanya karena pergumulan mengenai
Kepercayaan personal saya sejak saya tidak lagi terpesona oleh atheisme. Pemikiran imajiner apapun yang di temukan untuk memformulasikan cara-cara manusia berhubungan bisa menjadi suatu agama, setiap perbuatan bisa menjadi perbuatan yang relijius.
Setelah meninggalkan atheisme, ini bukan berarti kalau saya kembali mempercayai kitab-kitab pasti yang dulu sering di suapi ke dalam pemikiran saya. Sumpah demi apa saja, mempercayai satu kitab suci dengan mutlak sudah menjadi sesuatu yang cukup menggelikan bagi saya, karena hal seperti itu malah tidak akan menciptakan apapun selain pengsakralan yang berlebihan akan suatu idea. Saya tidak meninggalkan aspek-aspek positif yang di kemukakan oleh agama, tapi aspek negatifnya juga perlu di lihat kembali beserta efek-efeknya terhadap hubungan antar-manusia. Semua kitab dari Injil, Al quran sampai buku Negara dan revolusi lenin adalah suatu proses pengembangan dari idea dan kritik atas seluruh kehidupan masyarakat. Hanya sayangnya semua idea ini telah diangkat ke mimbar penyembahan yang berlebihan sehingga aspek radikalnya pun hilang, di sakralkan dan terpatungkan.

Agama adalah urusan personal tiap individu, tiap individu harus mempunyai keyakinannya sendiri, katedral bagi dirinya dimana dia dapat merasakan kedamaian di dalam jiwanya. Agama yang dipaksakan bukanlah agama yang sebenarnya, karena agama berhubungan dengan situasi terdalam dari manusia. Apabila itu dipaksakan tidak akan ada kedamaian yang nyata bagi individu dalam bergumul dengan jiwanya sendiri. Agama adalah kedamaian jiwa, karena itu lepaskan saja pada tiap individu untuk menentukan apa yang akan dipercayai dan di amalkan dalam kehidupannya. Dan sebagai kata terakhir saya hanya bisa mengatakan kepada kalian semua bahwa,THE KINGDOM OF GOD IS WITHIN YOU.




Saturday, April 24, 2004

 you are entering the simulation of life- please do not making any fetish out of it.