About Me
im not exist, im in everybody's mind...

Archives
 
Tuesday, August 25, 2009

 
Biarkan membeku dan mengeras bagai batu
Bumi berhenti dan matahari beranjak pergi
mencari semesta baru
Biarkan membeku dan melekat pada dinding batu
Cerita itu telah berlalu



\I want to erase you\


Thursday, July 02, 2009

 Aku terbayang tempat tidur itu kala siang dan malam, ketika keringat meresap ke dalam dan menetap, menjelmakan udara lembab.



Tawa dan mata yang membinari ingatanku. Lekuk tubuh yang gemulai melewati pintu. Di saat malam lewat dan kita berpisah melalui udara yang berbisik pilu. Aku pun merindu.



Pada seseorang yang telah membiarkanku tergenang sendirian tak berpegang apa-apa



Di tengah lautan, terombang-ambing, bersama secarik ingatan di gugus bintang yang seolah tertutup awan.





Songs Of Heard-ache:



Abba – Thank You For the Music. Sade – By Your Side. Stereophonics – Have A Nice Day. Sinead O’Connor – Jealous. Les Choristes – OST. Manic Street Preachers – Motorcycle Emptiness.


Tuesday, June 30, 2009

 
When I dream about the storm that ends

I was running up-hill with a smile on my face. I saw the grey sky closing the light as the pine trees turned dark-green and my heart beating at a slow pace. I am determined to arrive to the top, to see the sky closer, so as to clear my doubts out of the ashes of yesterday and year, where everything begins and ends.

I saw many people up there. They were drinking wine and smiling to each other. It seems mild and peaceful and also the climate is wondrous. This people! whom I never met. But everything soon to be change. I see the skies raining snow. It was indeed, a mild afternoon, and I am chilled with the landscape, where the dominant colors was grey and green. Neither sadness nor excessive happiness. It was a light run up to the hill. No heavy breath but I have to continue to run, this time downhill.

As I was running I saw a beach from a far. It was also beautiful. I can see the shore where there are people running towards an end. And all the ships is harboured properly, parked like those pine trees besides the street. It’s a disciplined and inorganic landscape. Soon I can encounter the warmth of the air. The snowing is only on the top. I flirt my eyes for a second to see the last snow from a distance.

Closer to the end, which is a beautiful dutch-colonial house with a modern touch, I come to ask myself: “Where am i?” I keep asking that question until I arrived to the house and found myself to be congratulated with clappings of old people and some people that I knew but of which I didn’t know any names.

I entered the kitchen looking for drinks where I found many people are talking endlessly. I feel like I’m home. I feel like I want to be devoted to these people. To that people on the top. To the soothing snows that falls and all that blessed around there. The wholeness is so comfortable and I don’t want to stop. So I face myself up to the roof, I can see a transparent glass showing moving clouds, anxiously white and grey and sometimes dark, weaving the sky with mysterious threadt and motives.

“What is that?” A women suddenly broke out with a fearful tone and hesitation.

No one answered. But some old man, tried to stand on his own weak feet, pointing at the sky, and while he say, in a slow and bitter tone:

“Storm is coming”, we all hear a tapping on the roof and the whole universe is raining…

I ducked my head and some people hide their body in a shy and paranoid way, fear of something bad will happen. My head was lurking down but my eyes wont roll down. I still see the weaving clouds, the silent rage above the sky. And roaring sounds coming. The thunder blasting. From the sound we can all imagine how it was weaved through the air and destroys everything that It encounters. You can feel the snow and pine trees were being destroyed. The roaring sounds is getting bigger and took a blast in our ears. For sometime soon I feel the house is collapsing. The more closer the sound of the storm comes, the more I stand and looked at the roof. I am wondering. I am afraid. Of a sudden impact that going to ruin the things that I love in my life. Something is retaliating. It is getting closer. Closer as the thunder is rolling and roaring and crashing everything down. And finally it’s on our house, the rolling and roaring sound, the blistering winds, the emptying of hearts. And while our desire was chicken away by the storm, and all of our life concepts and utopia end at that very moment, we suddenly sense the purifying of things, that somehow “having” is the same thing as “losing”.


And the end of everything also feels like a beginning of something.

As the sound of the roaring and rolling thunder end, there are people who still anxiously hiding, a post-apocalypse moment of awakening. And I see some people are also smiling with their teary eyes, full with hope. And when the dramatic moment ends, no one is anxious to go outside…


Sunday, May 17, 2009

 “I need you like flowers needs air, like revolutionaries need despair.”
Easier to Sing, The Wannadies

Betapa pun aku ingin memilikimu.
Betapapun aku ingin menjumpai langit-langit cerah di esok harimu.
Kita berdua tahu kalau saatnya nanti kan datang.
Bahwa keabadian adalah keterputusan dan kekosongan yang tak bermuara.
Bahwa impian dekadenku untuk memilikmu selamanya
Adalah impian yang telah lebih dulu divonis mati.
Bunga yang layu setelah diberi air.

Tapi aku masih ingin memikul batu itu di pundakku.
Masih memimpikan impian absurd itu di malam-malamku.
Dan aku masih akan terus merengkuh alam penyangkalanku,
hingga tragedi tiba dan menciptakan badai dalam duniaku.


Monday, April 27, 2009

 When everything ends...


Sudah berakhir, bukan? Sudah. Raut wajahmu telah memperlihatkan keteguhan. Bahwa kau yakin noda yang telah menganggu sekian lama pantas kau singkirkan. Tak ada lagi yang patut dipertahankan. Tak ada satu pembelaan pun kesempatan, semua sudah menjadi bubur.


Sekarang tinggal aku. Aku yang begitu gampang menyepelekan semuanya. Aku yang memukul-mukul tembok hampa, meraba kesunyian dalam kepatahan, dalam kemarahan. Kenapa aku harus marah, bukankah ini yang kucari? Adrenalin rasa yang kau eksplorasi, seperti semesta yang ingin kau rengkuh namun terlalu luas, terlalu besar untuk tubuhmu dan hatimu yang kecil. Bisakah kau menahan gelora yang membahana seperti amarah vulkanis? Bisakah kau menyirnakan sore yang kelu dan kelabu, penuh dengan awan hitam, hujan dan badai? Bisakah kau menahan ombak Calypso yang biru menghitam, mengombang-ambing jiwamu hingga berlarut-larut, seakan-akan daratan takkan pernah tergapai, dan badai tak pernah mereda.


Bukan penyesalan yang aku keluhkan. Tapi bunga yang aku temukan itu, pernah dan telah kusia-siakan, hingga ia tak lagi mau memberi madunya untukku. Ia pun tak layu. Ia tetap berdiri, anggun, menunggu yang lain hinggap. Tapi aku juga sudah habis akal untuk mengetahuinya. Aku tidak tahu lagi tentang dirinya. Tentu, ia menunggu mentari kembali bersinar, dan mungkin sinar itu telah datang padanya. Mencurinya di dalam impian-impian esok hari. Membuatnya melupakan yang harus terlupakan. Itulah harapannya, untuk memiliki esok hari. Esok hari yang sudah tidak ada lagi buatku. Bunga itu yang telah kutemukan dan berakhir meninggalkanku.


Seperti pelangi setia menunggu hujan reda...- (Desember-Efek Rumah Kaca)


Seperti itulah dia. Dan hujan serta awan hitam yang reda itu hanyalah bayanganku, rasaku, yang telah hilang untuknya.



Everything I Wrote About Her That Goes Unpublished...


Ini tentangmu. Ini memoar hati yang terpencil dalam ingatan-ingatan masa lalu. Ya, aku juga ingin menghapus segala sesuatu tentangmu.


“eternal sunshine of the spotless mind, each prayer accepted, each wish declined.”


Where are you?


Its been two days since I last heard from her. The universe seems like a blank space. I am naked with agony. I am worry.


Did I stabbed your heart before I go?
Did I fooled my heart before I go?


Bandung/Bojong Koneng – Cikutra Juni 2008


Takut. Gelisah. Tak menentu. Awan di kota Bandung tak tampak cerah sore ini. Demikian pula hatiku. Semangatku surut menunggu datangnya hari. Mimpi dan keinginanku seakan hanyut bersama arus kenyataan. Aku harus menghadapinya tanpa terlalu banyak mengasihani diri. Aku tidak cukup yakin untuk menyudahi semuanya.


Tak ada yang abstrak dalam hidup. Tak ada yang abstrak dalam keinginan. Ada dua sisi di atas langit. Yang satu kelabu dan yang satunya lagi cerah. Kedua-duanya tampak biasa-biasa saja bagiku


22 Juni 2008 Bandung.


waktu, katanya, dapat menyembuhkan luka. Mungkinkah luka yang kurasakan sebenarnya bukanlah luka yang membuatku menderita? Kuakui, aku kecanduan bermain-main dengan luka dan aku sama sekali tidak berniat untuk menyembuhkannya…


aku ingin luka itu meradang
dan ketika saatnya tiba
aku akan mengutuknya!


1 Juli 2008. Surabaya



La’Mere


I will always have an affair with the sea
An affair with the sea is endless and painful


When you’re living
You’d feel
That the world
Is always
Revolve
around you
and yet
it seems
to have always
forgotten
you


Everything looks nive and warm
When you’re on substance


11-13 Juli 2009


Apa yang akan terjadi esok hari
ketika kemarin telah sirna
bersama gelora dalam jiwa


kuingin menjadi abadi
seperti bintang dan bulan
yang jauh dipandang dan
sulit untuk dipegang


tapi kau menghilang
dari pandangan
dari harapan
sesaat setelah
angin barat
menghembuskan pertanda


itukah lantunan dalam gelisahmu:
aku yang nista penuh dusta
dan nafsu
labirin rasa ini menghanyutkan
dan aku pun mulai tenggelam


dalam hanyutan
impian juga kenangan
kumerapal sejuta kata
untuk berelegi
pada noda-noda


apa kata hati telah tertambat
apa kata noda telah tercecer
apa kata dusta telah menista


dan kau pun terkulum
dalam jiwamu sendiri
ditemani diriku yang jauh
dan berpraduga


kuhitung bintang
dengan jemari
kuhafalkan daerah-daerah
yang tak tertera dalam peta
kuingin terjun ke dalam masalah


tapi aku telah tertinggal
terbuang
oleh persepsi dan konstruksi
tentang cinta dan relasi
cerita atau nasi basi


supaya kau tahu
dimana dusta dibalut kata-kata
dan makna dijungkirbalikkan
maka kita telah terperangkap oleh rasa


rasa-rasa hampa yang
mengejar seperti
penyakit cacar
yang membuatmu malu
bersembunyi di kamar


kenangan apa yang telah kita tuai
kemarin rasanya lebih elok
untuk ditengok
saatku melihatmu tertawa
dengan mata yang berbinar
nyala


sore ini kau menangisi
langit yang cengeng
aku pun terdiam tak bergeming
semuanya menjadi hening


angin barat menutupi cerita ini
saatku baru saja mencium daratan
setelah berlayar melalui
lautan dan udara
impian yang sirna


ini bukan masalah versiku
atau versimu
aku telah salah
ini soal realita
mana yang ingin kita raba


lansekap tanpa daratan
hati yang terus berlayar
tersesat di lautan
namun kumasih saja terus berlabuh
dalam wujudmu yang menyerupai senja


Sesaat sebelum Pulau Dewata menyambutmu. Yk-2009



Some list of songs that i played to cure my heart ache:



The Adams – Fool (how appropriate, huh?)
Efek Rumah Kaca – Desember (Gara-gara si Rere nih, hoho)
Iron and Wine – Flightless Bird (Pas nonton Twilight, ada adegan dua protaganis lagi dansa, hoho, romantic? Dan baru tau ternyata lagunya Iron and Wine)
Tim Delaughter/Polyphonic Spree – Move away and Shine (Ritalin anybody?)




Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka…


Thursday, November 16, 2006

 
Ombak menggulung senja perlahan-lahan


Ada keheningan di setiap riak
Bersatu dengan cahaya yang menggelap
Perlahan-lahan melahirkan kehidupan
Membungkus gelap di dalam terang
Menjumpai enggan lalu terangsang
Yang akhirnya menyanyikan sepi
Ditengah tawa riang yang menggema

Berapa lamakah kita kan menanti ketidakpastian
Jarum jam terus berputar dan kita berada diantaranya
Terombang-ambing bersama fluktuasi
Nada dan sepi

Hidup memantul seperti cahaya bulan diatas danau
Kemilau yang menerangi mimpi kita
Sampai akhirnya kita kan terbangun
Untuk menjumpai mimpi-mimpi yang lain


Friday, June 30, 2006

 Jakarta Episode 1
Meninggalkan Keheningan Menuju Kekosongan
Membuang riuh ramai
dan bertekuk ditengah hiruk pikuk
Meninggalkan pantai menyambut kota karam
Meninggalkan kehidupan menuju kematian
Untuk memetik sejumput nafas di
dalam perjalanan menuju a
sal:
sebuah kehidupan baru diluar logika fana yang terjal 




Seseorang yang telah meninggalkan masa lalu tidak seharusnya selalu melihat kebelakang. Walau siang dan malam selalu menggoda kita untuk membuka setiap iluminasi memori, melongok folder hidup yang telah lalu, meromantisir hari kemarin demi menyembuhkan luka yang sedang terbuka. Dia datang lagi, seperti hembus angin, tapi kali ini terasa seperti baling-baling plastik yang berputar. Rasa itu tidak sama. Biarkan ingatan menyimpan. Biarkan kaki melangkah meninggalkan.

   Apakah kita pernah bertanya kediri sendiri, mempertentangkan diri kita sendiri, menarik garis dimana kita tidak akan merasa nyaman terhadap diri kita sendiri. Ada hal-hal dimana kita ingin selalu menyimpannya, dan ada juga yang ingin selalu mengeluarkannya dengan paksa. Walau mereka tahu kalau itu akan menyakitkan. Kita meninggalkan sesuatu demi mencari sesuatu. Ada rencana. Ada mimpi dibalik sesuatu. Ada kewajiban yang mendesah. Ada rasa rindu akan sesuatu. Sesuatu yang menghapuskan kemarin, yang tidak sekedar menyuci noda tapi mengganti. Menciptakan kebaruan, ketidakmonotonan. Tetapi kita bukan benda. Logika kita lebih berat dari sekedar baju dan angka ataupun matematika. Cinta kita lebih panas dari supernova.

   Aku kiaskan kepada kalian, sebuah kehidupan diatas bintang. Dimana puisi adalah bahasa sehari-hari dan manis sebuah kecupan tidak beraroma boneka. Keringat jatuh selayaknya tangis tubuh yang meringis lelah, namun bahagia, karena telah meng-ada dan ada, yang akhirnya akan menerima tiada. Ketika semua harus membenam bersama senja dan terlelap dengan harta karun memori di palung laut kehidupan. Persahabatan ibarat matahari sore dan burung-burung pantai bersama nelayan yang pergi dihantar arus. Nenek ompongpun tertawa-tawa seketika kakek mengeluarkan air mata melihat fitrah kembali keasalnya. Diatas bintang, bahasa bumi tidak lagi terdengar. Hanya ada hidup dan terang. Putih hitam kehidupan. Pelangi di bawah laut, di tengah koral dan rumput, dipatuk ular laut dan dililit belut, disengat plankton, digoda oleh para badut kecil dan singa laut. Bukit itu rumahku, diperempatan jembatan antar bintang. Dan kulihat terakhir wajahnya disore hari ketika kapalku siap mengangkat sauh. Pipinya yang merona merah, diarsir oleh tinta putih dan abu-abu, dan birunya bergemericik. Titik-titik cahayanya menguning ketika mereka melambai dan berkata kepadaku:


"jangan lupakan kami, jangan lupakan bintang. Disaat pantai sedang pasang dan angin laut bertiup kencang."